SEBUAH NASIHAT YANG LEBIH HANGAT DARI SECANGKIR TEH (2)
Sama seperti sebelumnya, kedua orang ayah dan anak ini juga sedang duduk santai menyeruput teh hangat aroma melati sambil menikmati angin pagi yang berhembus sejuk di teras rumah .
“Menurut Bapak, mengapa beberapa tahun terakhir ini usahaku tak bisa meningkat lagi omsetnya? Hanya statis saja seperti ini?” Kali ini sang anak yang membuka pembicaraan lebih dulu.
Ayahnya mencoba mengingat bisnis sampingan yang sedang dilakoni putranya tersebut. Ia meneguk teh di cangkirnya hingga tegukan terakhir. Pembawaannya memang tenang.
Ia menunjuk cangkir kosong yang ada di meja kecil yang terletak di tengah-tengah mereka berdua.
“Menurutmu berapa kapasitas teh yang dapat ditampung cangkir ini?” Tanya sang ayah dengan bijaksana.
“Mungkin sekitar dua ratus ml,”
“Baik. Kalah begitu bisakah kamu isikan kembali cangkir ini dengan teh sebanyak seratus ml?”
Anaknya mengangguk. Ia meraih teko berisi teh hangat dan menuangkan isinya hingga kira-kira berisi setengah tinggi cangkir.
“Sekarang bagaimana kalau Bapak minta teh hingga dua ratus ml?”
“Tak masalah!”
Kini ia menambahkan kembali dari teko yang masih dalam genggamannya, hingga cangkir ayahnya penuh dengan teh.
“Selanjutnya bagaimana kalau Bapak minta teh sebanyak tiga ratus ml?”
“Bagaimana mungkin Pak? Cangkir Bapak kan hanya berukuran dua ratus ml, berarti maksimal hanya bisa terisi seperti ini.”
“Nah apakah kamu paham maksud Bapak? Jika kamu ingin isi lebih banyak maka cangkir ini sudah tidak cocok. Kamu harus mencari wadah baru yang lebih besar pula.”
Sang ayah meneguk teh dari cangkir yang ia pegang itu, kemudian ia biarkan anaknya berpikir tentang penjelasannya tadi. Tampaknya analoginya berhasil di pahami dengan baik.
Sang ayah tahu, bahwa putranya selama menjalani bisnis tersebut hanya sibuk dengan pengelolaannya saja sehari-hari. Ia tidak punya waktu untuk belajar dan menambah pengetahuan dari orang lain yang lebih sukses.
Pantaslah kapasitas rezekinya tidak bertambah, karena kapasitas ilmunya juga tidak bertambah. Bukankah ilmu adalah wadah yang akan menampung aliran rezeki.
Dalam terminologi Al-Imam Asy-Syafi’i prinsip itu berbunyi,
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَهَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ باِلعِلْمِ
“Siapa yang menginginkan dunia maka hendaklah dengan ilmu. Siapa yang menginginkan akhirat, maka hendaklah dengan ilmu. Siapa yang menginginkan keduanya, maka hendaklah dengan ilmu.”
Maka salah satu penjabaran dari wasiat di atas adalah; Siapa yang menginginkan dunianya meningkat, maka hendaklah ia upgrade juga ilmunya.
SMOGA bermanfaat 😊
Salam sukses 😍
Hebat luar biasa 😘